Peningkatan sanitasi di Indonesia terhambat oleh kompleksitas faktor sosial-ekonomi dan budaya. Salah satu penghambat utama adalah kurangnya kesadaran dan edukasi di masyarakat. Beberapa komunitas masih mempraktikkan buang air besar sembarangan (BABS) karena minimnya edukasi mengenai pentingnya sanitasi. Di daerah perdesaan, kurangnya pengetahuan masyarakat tentang pentingnya sanitasi yang bersih dan sehat menjadi faktor signifikan. Banyak masyarakat perdesaan belum sepenuhnya menyadari risiko kesehatan yang ditimbulkan oleh sanitasi yang buruk.
Perilaku dan kebiasaan yang sudah mengakar juga menjadi tantangan. Kebiasaan masyarakat untuk BABS di sembarang tempat dan membuang sampah ke sungai masih sering ditemukan. Banyak orang cenderung malas melakukan praktik kebersihan karena kurang menyadari arti pentingnya kebersihan bagi kesehatan dan lingkungan.
Kemiskinan juga merupakan penghalang mendasar. Rumah tangga miskin seringkali tidak memiliki kemampuan finansial untuk membangun atau memelihara toilet yang layak. Kondisi ekonomi ini juga mempersulit mereka untuk mengakses kampanye kesadaran kesehatan dan pendidikan sanitasi yang penting untuk mengubah perilaku.
Tingkat pendidikan juga berperan penting. Penelitian menunjukkan bahwa tingkat penyelesaian pendidikan SMA/Sederajat secara signifikan meningkatkan akses terhadap sanitasi layak. Ini menunjukkan bahwa pendidikan adalah katalisator penting bagi perubahan perilaku dan peningkatan akses sanitasi.
Berbagai sumber menunjukkan bahwa faktor sosial-ekonomi (kemiskinan, pendidikan) saling terkait erat dengan perilaku budaya. Hal ini menunjukkan bahwa penyediaan infrastruktur saja tidak cukup jika perilaku mendasar dan kendala sosial-ekonomi tidak ditangani. Kemiskinan membatasi kemampuan untuk berinvestasi dalam sanitasi, sementara tingkat pendidikan yang rendah melanggengkan kurangnya kesadaran dan norma budaya yang resisten terhadap perubahan. Ini berarti bahwa strategi yang efektif harus menggabungkan pembangunan infrastruktur dengan kampanye pendidikan dan perubahan perilaku yang berkelanjutan dan sesuai budaya, mungkin melalui program beasiswa yang ditargetkan.
Kondisi geografis Indonesia yang beragam menjadi penghambat struktural dalam penyediaan sanitasi. Wilayah terpencil atau kepulauan menghadapi tantangan logistik yang besar dalam pembangunan infrastruktur sanitasi. Transportasi material dan tenaga kerja ke daerah-daerah ini seringkali mahal dan sulit.
Daerah pesisir, misalnya, menghadapi masalah sanitasi yang serius, dengan tingkat pengelolaan yang rendah dan banyak masyarakat yang masih mempraktikkan BABS di tempat terbuka atau langsung ke sungai/laut. Demikian pula, daerah pegunungan atau pulau terpencil mungkin tidak memiliki akses yang memadai ke sumber daya dan tenaga kerja yang diperlukan untuk membangun dan memelihara sistem sanitasi yang efektif.
Tantangan geografis menunjukkan bahwa hambatan fisik bukan sekadar ketidaknyamanan logistik, melainkan kendala struktural fundamental terhadap akses universal. Daerah terpencil, pulau-pulau, dan wilayah pesisir memerlukan solusi yang disesuaikan, yang seringkali lebih mahal dan kompleks. Hal ini berarti perlunya teknologi inovatif yang spesifik konteks dan model pembiayaan (misalnya, pompa air tenaga surya, penjernihan air sederhana) yang dapat mengatasi hambatan geografis yang unik ini, daripada hanya mengandalkan sistem terpusat konvensional.
Isu Urbanisasi dan Kondisi Kawasan Kumuh
Urbanisasi yang pesat di Indonesia, yang tidak diimbangi dengan ketersediaan pemukiman yang layak, telah menyebabkan munculnya kawasan pemukiman kumuh. Kawasan-kawasan ini menjadi pusat masalah sanitasi. Meskipun data menunjukkan bahwa 84,4% rumah tangga urban memiliki akses sanitasi layak pada tahun 2020, hanya 21,8% dari jumlah tersebut yang tersambung ke sistem
sewerage terpusat. Ini berarti sebagian besar limbah domestik di perkotaan masih dikelola secara individual, seringkali dengan sistem yang tidak memadai.
Kelompok masyarakat miskin dan penghuni kawasan kumuh adalah yang paling kesulitan dalam mengakses air bersih dan sanitasi layak. Kepadatan penduduk yang tinggi di area ini, ditambah dengan infrastruktur yang minim, memperparah risiko penyebaran penyakit dan pencemaran lingkungan.
Urbanisasi yang cepat tanpa perencanaan infrastruktur yang memadai menciptakan daerah kumuh perkotaan yang padat, yang kemudian menjadi titik panas masalah sanitasi. Hal ini menunjukkan bahwa urbanisasi, meskipun merupakan tanda pembangunan, secara paradoks memperburuk tantangan sanitasi dengan mengonsentrasikan populasi rentan di daerah dengan layanan yang tidak memadai. Tingkat koneksi
sewerage yang rendah di perkotaan menyoroti kesenjangan infrastruktur yang kritis, yang menyebabkan kontaminasi lokal bahkan di rumah tangga yang dianggap "layak". Ini berarti bahwa perencanaan kota harus mengintegrasikan sistem sanitasi dan pengelolaan limbah yang kuat untuk mencegah proliferasi permukiman informal dengan kebersihan yang buruk.
Dampak Perubahan Iklim terhadap Akses Sanitasi
Perubahan iklim telah menjadi ancaman eksistensial bagi kemajuan sanitasi di Indonesia. Dampak perubahan iklim, seperti banjir dan kekeringan, secara langsung memengaruhi akses sanitasi, terutama bagi perempuan perkotaan yang kurang beruntung secara ekonomi. Banjir, misalnya, dapat merusak instalasi pengolahan air limbah komunal, seperti yang terjadi di wilayah Penjaringan di mana 80% populasi terkena dampak banjir dan 5 dari 18 instalasi pengolahan air limbah komunal tidak berfungsi.
Kekeringan yang disebabkan oleh perubahan iklim mengurangi ketersediaan air bersih, yang sangat penting untuk kebutuhan sanitasi dan minum. Situasi ini meningkatkan risiko penyakit yang terkait dengan air, seperti diare dan infeksi saluran pernapasan, karena masyarakat terpaksa menggunakan sumber air yang tidak aman.
Keterkaitan langsung antara dampak perubahan iklim (banjir, kekeringan) dan kegagalan infrastruktur sanitasi/kelangkaan air menunjukkan bahwa investasi sanitasi di masa lalu dan saat ini rentan terhadap guncangan iklim di masa depan. Hal ini berpotensi membalikkan kemajuan yang telah dicapai dan secara tidak proporsional memengaruhi kelompok rentan seperti perempuan. Ini berarti bahwa strategi sanitasi di masa depan harus mengintegrasikan langkah-langkah ketahanan iklim dan adaptasi, melampaui infrastruktur tradisional untuk mencakup solusi cerdas iklim dan kesiapsiagaan bencana.
Keterbatasan Pendanaan dan Alokasi Anggaran Daerah
Keterbatasan pendanaan merupakan hambatan utama dalam percepatan peningkatan sanitasi di Indonesia. Minimnya alokasi Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) untuk pembangunan layanan kebutuhan dasar sanitasi menjadi salah satu alasan utama tingginya kesenjangan antardaerah dalam akses sanitasi. Tingkat investasi pemerintah yang diperkirakan hanya US$2 per kapita per tahun pada tahun 2005 jelas tidak cukup untuk memperluas layanan secara signifikan.
Indonesia masih menghadapi tantangan pendanaan yang substansial; sekitar 100 juta penduduk masih kekurangan akses ke fasilitas sanitasi yang layak. Kesenjangan pendanaan ini juga terlihat dalam studi kasus, seperti di Kabupaten Melawi, di mana kebutuhan pembiayaan sanitasi untuk akses universal pada tahun 2030 mencapai Rp 338,7 miliar, dengan APBD kabupaten hanya mampu menutupi 45% dari kebutuhan sanitasi masyarakat dan 30% dari kebutuhan air minum. Ini menunjukkan bahwa sebagian besar pendanaan masih harus dicari dari sumber lain.
Penyebutan yang konsisten mengenai alokasi APBD yang terbatas dan investasi pemerintah yang tidak memadai menunjukkan bahwa kendala finansial adalah hambatan utama untuk meningkatkan upaya sanitasi. Ini berarti bahwa mekanisme pembiayaan inovatif dan kemauan politik yang lebih besar untuk memprioritaskan sanitasi dalam anggaran daerah sangat penting. Kesenjangan pendanaan yang signifikan yang diidentifikasi di Kabupaten Melawi semakin menggambarkan masalah yang meresap ini.
Karya Kreatif Menyediakan Kebutuhkan Sanitasi Untuk Rumah dan Kantor Kamu!
Isu Tata Kelola dan Fragmentasi Kelembagaan
Tata kelola yang lemah dan fragmentasi kelembagaan menjadi penghambat efektivitas program sanitasi. Tanggung jawab kebijakan terkait sanitasi seringkali terfragmentasi antar kementerian dan lembaga, menyebabkan kurangnya koordinasi yang terpadu. Sejak desentralisasi diperkenalkan di Indonesia pada tahun 2001, pemerintah daerah (kabupaten) memang telah memperoleh tanggung jawab atas penyediaan air dan sanitasi. Namun, pelimpahan tanggung jawab ini belum diikuti dengan mekanisme penyaluran dana yang memadai untuk melaksanakan tanggung jawab tersebut, sehingga utilitas lokal masih lemah.
Fragmentasi tanggung jawab dan lemahnya utilitas loka menunjukkan bahwa meskipun ada kebijakan yang baik, tata kelola yang buruk dapat merusak efektivitas implementasi. Kurangnya mekanisme pendanaan yang memadai setelah desentralisasi menyoroti kelemahan sistemik dalam transfer kebijakan. Ini berarti bahwa penguatan kelembagaan, garis wewenang yang jelas, dan peningkatan koordinasi antarlembaga sangat penting untuk program sanitasi yang efisien dan berdampak.
CV Karya Kreatif Kami Menyediakan Kebutuhan Sanitasi Rumah Sakit Lengkap seperti Kantong Limbah Medis dan Non Medis, Tempat Sampah, Kontainer Sampah, Safetybox (Kotak limbah Jarum) dan Kebutuhan Sanitasi Lainnya